Surakarta, 25 Oktober 2024 – Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) melaksanakan kuliah umum dengan topik “Isu Papua di Kawasan Pasifik” pada hari Kamis, 24 Oktober 2024. Kuliah umum ini mengundang Prof. Cahyo Pamungkas yang merupakan Profesor Riset pada Pusat Riset Kebudayaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang konsen dalam isu dan konflik Papua dan dimoderatori oleh Muhnizar Siagian yang merupakan dosen Hubungan Internasional yang memiliki minat kajian dalam isu Papua.
Prof. Cahyo mengawali kuliah umum dengan menguraikan penjelasan mengenai berbagai aspek sejarah Papua dan dilanjutkan dengan menjelaskan Papua setelah masuk menjadi wilayah Indonesia. Penjelasan ini penting untuk mengetahui bagaimana konflik Papua muncul dan terus berlangsung sampai saat ini. Prof. Cahyo menjelaskan empat akar masalah konflik Papua: akar sejarah, marginalisasi dan diskriminasi, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, dan kegagalan pembangunan. Secara akar sejarah, Indonesia mengidentifikasi Papua sebagai bagian dari Indonesia dengan wacana Melanesia Indonesia dan keputusan final PEPERA. Sementara itu, sebagian masyarakat Papua mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari Melanesia Pasifik dan belum sepenuhnya menerima integrasi dengan Indonesia dalam PEPERA. Bahkan, PEPERA ini dianggap sebagai tindakan aneksasi yang dilakukan Indonesia. Perbedaan pandangan seperti ini tidak dipungkiri menambah kompleksitas upaya penyelesaian konflik Papua.
Berikutnya, marginalisasi dan diskriminasi. Meningkatnya transmigrasi dan kawasan-kawasan pemukiman transmigran dari luar Papua menyebabkan masyarakat Papua makin tersisih. Ketiga, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, kekerasan di masa lalu dan saat ini masih terjadi oleh aparatur negara menciptakan trauma mendalam bagi sebagian masyarakat Papua. Terakhir, pembangunan yang berlangsung saat ini belum dirasakan oleh masyarakat Papua, dibuktikan dengan tumpang tindih izin konsesi pertambangan, pembukaan hutan adat untuk perkebunan sawit, ketiadaan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) bagi masyarakat adat terkait penggunaan lahan tersebut, serta hak otonomi khusus yang terkesan menjadi arena pertarungan para elite. Keempat hal inilah yang juga menjadi perhatian negara dan masyarakat sipil di Pasifik terhadap isu Papua. Untuk menutup pemaparan dari Prof. Cahyo, moderator menekankan seluruh peserta yang hadir untuk melihat konflik Papua secara menyeluruh, holistik, dan tetap mengedepankan pendekatan kemanusiaan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
Kuliah umum ini diselenggarakan dalam format hibrid, baik secara langsung di Ruang Aula FISIP UNS dan Zoom. Kuliah umum ini diikuti oleh 650 mahasiswa, staf, dan dosen dari UNS, Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (UNIMUDA), Universitas Cendrawasih, dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ). Atensi yang hangat diberikan oleh peserta, khususnya peserta dari USTJ dan UNIMUDA yang turut memberikan tanggapan mengenai materi yang disampaikan oleh Prof. Cahyo. Sambutan juga diberikan oleh redaktur senior Jubi.id, Dominggus Mampioper. Kuliah umum diakhiri dengan pertanyaan dari mahasiswa, seperti komparasi hak otonomi di Papua dan Aceh, kepentingan lain negara-negara Pasifik Selatan dalam mendukung kemerdekaan Papua, potensi ketersisihan masyarakat Papua dengan wacana peningkatan transmigrasi di bawah kepemimpinan yang baru, dan peran mahasiswa Hubungan Internasional dalam menjaga keutuhan nasional.