image

Surakarta, 6 Desember 2024 – Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) mengadakan kuliah umum dengan tema “Indonesia’s Soft Power Potential: Gastrodiplomacy” pada hari Rabu, 4 Desember 2024. Kuliah umum ini diselenggarakan secara luring di Ruang Aula FISIP UNS, serta mengundang Dr. Suyatno Ladiqi yang merupakan Associate Professor dari Faculty of Law & Internasional Relations, Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia. Sementara itu, dosen Hubungan Internasional UNS Afrizal Fajri dan Erina Ikawati bertindak untuk memandu jalannya kuliah umum baik sebagai moderator dan pembawa acara.

Kuliah umum diawali dengan sambutan dari Dr. Likha Sari Anggreni, S.Sos., M.Soc.Sc. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) sebelum dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Bapak Suyatno. Dalam paparannya, Bapak Suyatno menyoroti tentang pendekatan soft power sebagai pendekatan baru untuk menghadapi dinamika hubungan internasional saat ini. Dibandingkan pendekatan hard power, pendekatan soft power akan lebih mudah diterima karena sifatnya yang lebih persuasif dan mengedepankan nilai, budaya, dan ide-ide. Salah satu wujud nyata dari pendekatan soft power yaitu gastrodiplomasi, atau diplomasi yang menjadikan makanan/kuliner sebagai instrumen diplomasi. Dalam konteks Indonesia, keanekaragaman kuliner Indonesia—misalnya berbagai jenis soto, rendang, hingga jajanan pasar—dapat menjadi kekuatan Indonesia untuk memperkenalkan identitas bangsa sekaligus membangun hubungan antarnegara. Tidak hanya itu, kekayaan kuliner Indonesia juga bisa mendukung diplomasi pariwisata. Bapak Suyatno mencontohkan, keberadaan pasar malam atau warung kaki lima yang menjajakan berbagai jenis kuliner dapat menjadi wadah pertukaran dan apresiasi budaya antara masyarakat lokal dan wisatawan asing.

Sayangnya, perlu diakui bahwa upaya Indonesia untuk memanfaatkan keanekaragaman kuliner sebagai sarana berdiplomasi masih menemui banyak hambatan. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, soft power Indonesia masih tertinggal dibandingkan Singapura, Thailand, dan Malaysia. Beberapa hambatan yang berhasil dipetakan oleh Bapak Suyatno seperti persaingan dengan negara-negara lain yang sudah lebih dahulu menggunakan diplomasi soft power seperti Korea Selatan, Jepang, atau India, keterbatasan sumber daya—termasuk komitmen pemerintah yang belum cukup dalam memperkenalkan kuliner khas Indonesia, sampai dengan citra negara yang tidak sesuai dengan realita lapangan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya langkah yang lebih konsisten dari berbagai pemangku kepentingan—utamanya pemerintah—dalam mengatasi berbagai hambatan terkait upaya gastrodiplomasi Indonesia.

Kuliah umum ini dihadiri oleh 200 peserta, termasuk dosen dan mahasiswa Hubungan Internasional UNS dari berbagai angkatan. Antusiasme mahasiswa ditunjukkan dengan diskusi dan berbagai pertanyaan yang dilayangkan kepada pembicara. Beberapa di antaranya seperti upaya mengglobalkan kuliner tradisional yang tidak semua orang tahu akan kuliner tersebut dan bagaimana perwakilan Indonesia di luar negeri bisa ikut berperan untuk mempromosikan kuliner tradisional Indonesia. Adanya kuliah umum diharapkan ini mampu menambah khazanah pengetahuan mahasiswa mengenai gastrodiplomasi, serta menginspirasi mereka untuk menjadikan kuliner lokal sebagai elemen dalam menciptakan harmoni global.