Surakarta, 7 November 2024 – Program Studi Hubungan Internasional UNS menggelar Kuliah Umum dengan mengusung tema “Quo Vadis Konflik Korea Selatan dan Korea Utara” yang dilaksanakan pada Jumat, 1 November 2024. Kuliah umum yang bertempat di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS ini menghadirkan Dr. Teguh Santosa (akademisi dan jurnalis senior) serta dimoderatori oleh Dr. Muhnizar Siagian, M.I.Pol. (Dosen Program Studi Hubungan Internasional UNS).
Dekan FISIP UNS Periode 2024-2029, Dr. Didik Gunawan Gunawan Suharto, S.Sos., M.Si. turut hadir untuk memberikan sambutan dalam kuliah umum ‘Quo Vadis Konflik Korea Selatan dan Korea Utara’.
Untuk mengawali kuliah umum, Dr. Teguh Santosa menyampaikan bahwa perdamaian atau kondisi damai berada di antara dua peperangan dan sudah menjadi hal yang wajar apabila suatu negara merasa perlu untuk meningkatkan essential power. Dr. Teguh Santosa juga menambahkan bahwa faktor budaya menjadi salah satu faktor penentu apakah suatu negara dapat bertahan atau tidak, terlebih lagi jika melihat perbedaan kondisi yang dimiliki oleh setiap negara.
Dr. Teguh Santosa menjelaskan bahwa terdapat two level games di mana kebijakan luar negeri setiap negara merupakan resultan dari pertarungan pada dua tingkat. Tingkat pertama berada di level domestik, yakni perbedaan rezim akan menghasilkan perbedaan kebijakan luar negeri, perbedaan pendekatan dalam mengidentifikasi pihak mana yang menjadi ‘teman’ dan pihak mana yang menjadi ‘lawan’. Sedangkan, tingkat kedua berada di level internasional, yang digambarkan dengan pengambilan keputusan untuk melakukan peperangan. Proses pengambilan keputusan dalam negara otoriter tidak terjadi perdebatan publik dan presentasi perspektif sehingga keputusan akan diambil dalam waktu yang efektif, sedangkan dalam negara demokrasi pembentukan keputusan perlu didiskusikan dan disepakati oleh berbagai pihak, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama. Hal tersebut tercermin di dalam perang Korea saat Korea Utara sudah melakukan tindakan ‘sapu bersih’ di wilayah Busan, sedangkan Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) masih dalam perdebatan terkait perlu atau tidaknya menerjunkan pasukan multinasional untuk menghadapi Korea Utara tanpa melakukan tindakan konsolidasi.
“Sering saya katakan bahwa akan lebih mudah memahami logika foreign policy Korea Utara daripada Korea Selatan, karena pergantian rezim di Korea Utara nyaris tidak mengubah dan menjadi keuntungan (bagi Korea Utara) dengan sistem politik tersebut sehingga kekuasaan sentral menjadi efektif hingga ke bawah,” ujar Dr. Teguh Santosa saat menjelaskan aspek domestik dari Korea Utara dan Korea Selatan.
Dr. Teguh Santosa juga membagikan pengalamannya yang telah melakukan perjalanan dinas ke Korea Utara sebanyak belasan kali dan menceritakan pengalamannya yang berkesempatan untuk hadir secara langsung di Pyongyang, Korea Utara pada tahun 2012 saat presiden Republik Demokratik Rakyat Korea pada saat itu, Kim Jong Un, tampil pertama kalinya di depan publik internasional.
Agenda kuliah umum ini turut dihadiri oleh Dr. Agus Haryanto, S.IP., M.Si. (Universitas Jenderal Soedirman), Agfajrina Cindra Pamungkas (Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong), Hendry Bakri, S.IP., M.Si. (Universitas Sains dan Teknologi Jayapura), Sri Herwindya Baskara Wijaya S.Sos., M.Si. (Dosen D-3 Komunikasi Terapan UNS), mahasiswa program studi Hubungan Internasional UNS, serta sivitas akademika Program Studi Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong yang bergabung melalui platform Zoom Meeting.